15 April 2011

Film “?”: Apa Maunya?

afwan, kali ini bacaannya agak sedikit berat...
HaH
==============================
Subject: Film “?”: Apa Maunya?


Penulis adalah : Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (2005-2010),
pengurus Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2005-2010),
dan Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Pusat (2005-2011)

--
http://www.hidayatullah.com/read/16298/11/04/2011/film-%E2%80%9C?%94:-apa-maunya?-.html

Film “?”: Apa Maunya?

Oleh: Dr. Adian Husaini

“Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah
dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau
telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.”

(Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar)

PERLU digarisbawahi, saat menonton film “?” (Tanda Tanya) pada
tayangan perdana, 6 April 2011 lalu, saya adalah seorang Muslim. Saat
memberikan komentar dan memberikan catatan kritis ini, saya juga tetap
Muslim, dan saya menggunakan perspektif Islam dalam menganalisis film
“?”. Sebagai Muslim, saya telah berikrar: "Tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah."

Dengan syahadat Islam itu, saya bersaksi, saya mengakui, bahwa Tuhan
saya adalah Allah. Tuhan saya bukan Yahweh, bukan Yesus, bukan Syiwa.
Tuhan saya Satu. Tuhan saya tidak beranak dan tidak diperanakkan. Saya
mengenal nama dan sifat Allah bukan dari budaya, bukan dari hasil
konsensus, tapi dari al-Quran yang saya yakini sebagai wahyu dari
Allah kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu, sejak dulu, dan sampai
kiamat, saya dan semua orang Muslim memanggil Tuhan dengan nama yang
sama, Allah, yang jelas-jelas berasal dari wahyu.

Sebagai Muslim, saya yakin, bahwa Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah
sebagai nabi terakhir. Sebagaimana para nabi sebelumnya – seperti Nabi
Musa dan Nabi Isa a.s. – inti ajaran Nabi Muhammad saw adalah Tauhid,
yaitu mensatukan Allah. Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia
(QS 34:28), bukan hanya untuk bangsa atau kurun tertentu.

Itu artinya, kebenaran Islam, bukan hanya berlaku untuk orang Islam,
tetapi berlaku untuk semua manusia. Syariat Nabi Muhammad saw saat
ini adalah satu-satunya syariat yang sah untuk seluruh manusia. Cara
beribadah kepada Allah – satu-satunya – yang sah hanyalah dengan
syariat Nabi Muhammad saw. Jalan yang sah menuju Tuhan hanyalah jalan
yang dibawa Nabi Muhammad saw.

Akal saya tidak bisa menerima satu logika, yang menyatakan, bahwa
Allah telah menurunkan Nabi-Nya yang terakhir, dan kemudian Allah SWT
membebaskan manusia untuk memanggil nama-Nya dengan nama apa pun,
sesuai dengan selera manusia. Juga, tidak masuk di akal saya, pendapat
yang menyatakan, bahwa Allah SWT membebaskan manusia untuk
menyembah-Nya dengan cara apa pun, sesuai dengan kreativitas akal dan
hasrat nafsu manusia.

Saya yakin, sesuai QS 3:19 dan 3:85, bahwa Allah hanya menurunkan satu
agama untuk seluruh Nabi-Nya, yakni agama yang mengajarkan Tauhid (QS
16:36). Jika satu agama tidak mengajarkan Tauhid, pasti bukan agama
yang diturunkan Allah untuk para Nabinya; dan pasti merupakan agama
budaya (cultural religion).
Itu keyakinan saya sebagai Muslim. Dan itu konsekuensi logis dari
syahadat yang saya ikrarkan!

***

Alkisah, Rika, seorang istri yang kecewa terhadap suami. Rika
memutuskan pindah agama, dari Islam menjadi Katolik. Ia berujar, bahwa
kepindahan agamanya bukan berarti mengkhianati Tuhan. Meskipun
Katolik, Rika sangat toleran. Anaknya , – masih kecil, bernama Abi
–dibiarkannya tetap Muslim. Bahkan, ia mengantarjemput anaknya ke
masjid, belajar mengaji al-Quran. Di bulan puasa, dia temani dan dia
ajar Abi berdoa makan sahur.

Di Film “?” (Tanda Tanya), Rika ditampilkan sebagai sosok ideal:
murtad dari Islam, tapi toleran dan suka kerukunan. Pada segmen lain,
secara verbatim Rika mengatakan, BAHWA agama-agama ibarat jalan
setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan.
Kata Rika mengutip ungkapan sebuah buku, “… semua jalan setapak itu
berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama; mencari satu hal yang
sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”

Mulanya, kemurtadan Rika tidak direstui ibunya. Anaknya yang Muslim
pun awalnya menggugat. Tapi, di ujung film, Rika sudah diterima
sebagai “orang murtad” dari Islam. Bahkan, ada juga yang memujinya
telah mengambil langkah besar dalam hidupnya.

Kisah dan sosok Rika cukup mendominasi alur cerita dalam film “?”
garapan Hanung Bramantyo ini. Rika tidak dipersoalkan kemurtadannya.
Padahal, dalam pandangan Islam, murtad adalah kesalahan besar. Saat
duduk di bangku SMP, saya sudah menamatkan satu Kitab berjudul
Sullamut Tawfiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin
Muhammad bin Hasyim. Kitab ini termasuk yang mendapatkan perhatian
serius dari Imam Nawawi al-Bantani, sehingga beliau memberikan syarah
atas kitab yang biasanya dipasangkan dengan Kitab Safinatun Najah.

Dalam kitab inilah, sebenarnya umat Islam diingatkan agar menjaga
Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni murtad (riddah).
Dijelaskan juga dalam kitab ini, bahwa ada tiga jenis riddah, yaitu
murtad dengan I’tiqad, murtad dengan lisan, dan murtad dengan
perbuatan. Contoh murtad dari segi I’tiqad, misalnya, ragu-ragu
terhadap wujud Allah, atau ragu terhadap kenabian Muhammad saw, atau
ragu terhadap al-Quran, atau ragu terhadap Hari Akhir, sorga, neraka,
pahala, siksa, dan sejenisnya.

Masalah kemurtadan ini senantiasa mendapatkan perhatian serius dari
setiap Muslim, sebab ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar
dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman. Dalam pandangan Islam,
murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika
iman batal, maka hilanglah pondasi keislamannya. Banyak ayat al-Quran
yang menyebutkan bahaya dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.

”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia
dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” (QS 2:217).

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga,
tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu
apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah
adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS 24:39).

Jadi, riddah/kemurtadan adalah masalah besar dalam pandangan Islam.
Entahlah dimata kaum Pluralis! Tindakan murtad bukan untuk
dipertontonkan dan dibangga-banggakan! Dalam perspektif Islam,
patutkah seorang bangga dengan kekafirannya?

***

Masih menyorot sosok Rika dalam film “?”. Rika pindah agama, dari
Islam menjadi Katolik. Dalam konsepsi Islam, Rika bisa dikatakan telah
melakukan dosa syirik, karena mengakui Yesus sebagai Tuhan atau salah
satu Oknum dalam Trinitas. Padahal, dalam al-Quran Nabi Isa a.s.
jelas-jelas menegaskan dirinya sebagai Rasul Allah. Nabi Isa adalah
manusia, dan bukan Tuhan, atau anak Tuhan. Ini pandangan Islam.
Tentu, ini bukan pandangan Kristen.

Dalam perspektif Islam, menurunkan derajat al-Khaliq ke derajat
makhluk adalah tindakan tidak beradab. Begitu juga sebaliknya,
menaikkan derajat makhluk ke derajat al-Khaliq juga tidak beradab. Itu
musyrik namanya. Seorang presiden saja tidak mau disamakan dengan
rakyat biasa. Jika lewat, dia minta diistimewakan. Kita diminta
minggir. Binatang juga dibeda-bedakan tempat atau kandangnya. Adab --
dalam konsepsi Islam -- mewajibkan seorang Muslim meletakkan segala
sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang sebenarnya, sesuai
ketentuan Allah. Nabi Isa a.s. adalah utusan Allah. Tugasnya
menyampaikan kepada Bani Israel, siapa Tuhan yang sebenarnya, dan
bagaimana cara menyembah-Nya. Nabi Isa a.s. melanjutkan syariat Nabi
Musa a.s.

Menuduh Allah mempunyai anak – menurut al-Quran – adalah sebuah
kesalahan yang sangat serius. “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha
Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah
mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit
pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh,
karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19:
88-91).

Islam memandang keimanan sebagai hal terpenting dan mendasar dalam
kehidupan. Iman akan dibawa mati. Iman lebih dari soal suku, bangsa,
bahkan hubungan darah. Iman bukan “baju”, yang bisa ditukar dan
dilepas kapan saja si empunya suka. Iman juga tidak patut
diperjualbelikan: ditukar dengan godaan-godaan duniawi. Ada perbedaan
prinsip antara mukmin dan kafir. “Sesungguhnya orang-orang kafir
yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahannam;
mereka kekal di dalamnya.” (QS 98:6).

Demi mempertahankan iman, Nabi Ibrahim a.s. rela berpisah dengan ayah
dan kaumnya. Melihat tradisi penyembahan berhala pada keluarga dan
kaumnya, Ibrahim a.s. tidak berpikir sebagai seorang Pluralis yang
menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, dan punya
tujuan yang sama. Tapi, Nabi Ibrahim berdiri kokoh pada prinsip
Tauhid, mengajak kaumnya untuk meningalkan tradisi syirik.

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, pantaskah
engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai tuhan-tuhan?
Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang
nyata.” (QS 6:74).

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikan negeri
ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak cucuku
dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya
berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka
barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya
Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 14:35-36)

“Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang
hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (QS 3:67).

Dan kini, dalam setiap shalat, kaum Muslim membacakan doa untuk Nabi
Muhammad saw dan sekaligus dirangkaikan dengan doa untuk Nabi Ibrahim
a.s. Itu tentu karena kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan ajaran
Tauhid dan bukan karena Nabi Ibrahim seorang musyrik!

Maka, sebagai Muslim, saya tentu boleh merasa heran, dan penuh Tanda
Tanya, mengapa dalam film “?” -- yang diproduksi dan digarap seorang
yang beragama Islam -- soal ganti agama, soal keluar dari Islam,
soal pergantian mukmin menjadi kafir, dianggap perkara kecil dan
remeh?

***

Syahdan, para pemikir ateis, seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche,
Sigmund Freud, Jean Paul Sartre dan sejenisnya, terkenal dengan
gagasan-gagasan yang memandang agama dan Tuhan sudah tidak diperlukan
lagi di era zaman modern ini. Mereka beramai-ramai mempermainkan
Tuhan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) menyatakan: “even if God existed,
it will still necessary to reject him, since the idea of God negates
our freedom.” (Karem Armstrong, History of God, 1993). Thomas J.
Altizer, dalam “The Gospel of Christian Atheism” (1966) menyatakan:
“Only by accepting and even willing the death of God in our experience
can we be liberated from slavery…” (Karen Armstrong, History of God)

Friedrich Nietzsche, dalam karyanya, Also Sprach Zarathustra,
mengungkap gagasan bahwa “Tuhan sudah mati”. Karena Tuhan sudah mati,
dan tidak diperlukan lagi, Nietzsche berpendapat, “Kepercayaan adalah
musuh yang lebih berbahaya bagi kebenaran, dibanding kebohongam.”
Nietzsche ingin bebas dari segala aturan moral, ingin bebas dari
Tuhan. Ujungnya, pada 25 Agustus 1900, ia mati setelah menderita
kelainan jiwa dan penyakit kelamin. (Lihat, B.E. Matindas, Meruntuhkan
Benteng Ateisme Modern, 2010).

Jika direnungkan secara serius, Pluralisme Agama sejatinya bisa
begitu dekat dengan ateisme. Ketika orang menyatakan, “semua agama
benar”, sejatinya bersemayam juga satu ide dalam dirinya, bahwa
“semua agama salah”. Sebab, “Tuhan” (God), yang dipersepsikan kaum
Pluralis adalah Tuhan yang abstrak. Tuhan kaum Pluralis adalah Tuhan
dalam angan-angan, yang boleh diberi nama siapa saja, diberi sifat apa
saja, dan cara menyembahnya pun boleh suka-suka. Kapan suka disembah,
kapan-kapan tidak suka, bisa diganti dengan Tuhan lain. Cara menyembah
Tuhan, menurut mereka, juga sesuka selera manusia. Bosan dengan cara
satu, bisa diganti dengan cara lain. Sebab, dalam konsep mereka, tidak
ada satu cara yang pasti benar dalam ibadah, sesuai petunjuk seorang
Nabi.

Tuhan dalam Islam mengharamkan babi. Pada saat yang sama, Tuhan dalam
agama Kristen menghalalkan babi.

Tuhan, dalam agama Bhairawa Tantra, memerintahkan agar menyembelih
wanita dan darahnya kemudian diminum bersama-sama. Tuhan dalam agama
Children of God menganjurkan seks bebas, sebagai wujud rasa kasih
sayang antar-sesama manusia. Kini, di daratan Amerika dan Eropa
bermunculan gereja-gereja nudis. Baik pendeta maupun jemaatnya,
semuanya telanjang bulat saat melakukan kebaktian. Jika semua jenis
“Tuhan” itu diangga sama saja, maka “Tuhan” yang mana yang disembah
kaum Pluralis?

Jadi, saat seorang yang mengaku Pluralis berkata, “Semua agama
menyembah Tuhan yang sama”, maka secara hakiki, dia telah berdiri di
luar Islam. Sebab, dia tidak lagi menuhankan Allah. “Tuhan”,
baginya, bisa siapa saja, berupa apa saja, dan berwujud apa saja. Bisa
disebut Yehweh, bisa Allah, bisa Yesus, bisa Brahmin, dan bisa juga
Iblis! Yang penting dikatakan “Tuhan”, yang penting God! Padahal,
seorang Muslim sudah mengikrarkan syahadat: “Tidak ada Tuhan selain
Allah”.

Meskipun menyebut Tuhan mereka dengan “Allah”, tetapi kaum Quraisy
ketika itu dikatakan sebagai “musyrik”, sebab mereka menyekutukan
Allah dengan Tuhan-tuhan lain. Allah hanyalah salah satu dari
Tuhan-tuhan mereka; bukan Tuhan satu-satunya. Sebutan bisa sama, yakni
“Allah”, tetapi konsepnya berbeda-beda. Sebagian besar kaum Kristen
di Indonesia menyebut juga Tuhan mereka dengan sebutan “Allah”, tetapi
konsepnya berbeda dengan “Allah” dalam Islam.

Lain lagi dengan aliran “Darmogandul” di Tanah Jawa, yang mengartikan
Allah dengan “ala” (bahasa Jawa, artinya jelek). Dalam salah satu
bait Pangkur-nya, Kitab Darmogandul, menyatakan: “Akan tetapi bangsa
Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini
adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang
Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam
hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”

Jadi, Tuhan yang mana yang disembah kaum Pluralis? Jika Tuhan apa pun
sama saja, lalu apa artinya Tuhan bagi mereka? Ujung-ujungnya bisa
jadi: Tuhan tidak penting! Sebab, dalam pandangan kaum ini, Tuhan yang
sejati (Allah), atau manusia, atau setan dianggap sama saja. Semua
bisa menjadi Tuhan dan dituhankan. Ujung-ujungnya, Tuhan dianggap
tidak penting. Bandingkan dengan sosok Sigmund Freud, psikolog dan
salah satu perintis ateisme modern, yang berteori bahwa “Bertuhan,
hanyalah wujud gejala penyakit jiwa infantilisme (penyakit
kekanak-kanakan). (B.E. Matindas, ibid).

Ketidakjelasan posisi teologis kaum Pluralis Agama, digambarkan oleh
Dr. Stevri Lumintang, seorang pendeta Kristen di Malang, dalam
bukunya, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme
dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004).

Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah
posisi teologi kaum pluralis ; bahwa teologi ini sedang meracuni, baik
agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang
semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.

Ditegaskan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi Abu-Abu (Pluralisme)
merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama
yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau
teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu
sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan
utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus
digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang
ada di masing-masing agama.’’

***

Sosok lain yang secara dominan ditampilkan dalam Film “?” adalah
seorang bernama Surya. Ia seorang laki-laki Muslim, berprofesi
sebagai aktor figuran. Dia berteman dengan Rika. Karena miskin, ia
terusir dari rumah kosnya. Lihatlah, dalam film ini, Ibu Kos yang
“bakhil” itu ditampilkan dalam sosok berjilbab, dan mengajari anak
Rika agar membaca buku-buku Islam!

Surya memuji-muji Rika telah melakukan sesuatu yang berarti dalam
hidupnya. Mereka berkawan akrab. Surya ditampilkan sebagai sosok yang
polos, kocak dan naif. Untuk uang, dan mungkin untuk mempertontonkan
fenomena “kerukunan umat beragama”, Surya menerima tawaran Rika agar
berperan sebagai Yesus. Ia rela beradegan – seolah-olah -- dipaku di
tiang salib di sebuah Gereja Katolik saat perayaan Paskah. Pada kali
lain, ia berperan sebagai Santa Claus. Sebagian jemaat Gereja sempat
memprotes sosok Yesus diperankan seorang Muslim. Terjadi perdebatan.
Muncul Pastor yang menyetujui penunjukan Surya sebagai tokoh Yesus.

Seperti halnya Rika, tampaknya sosok Surya ditampilkan sebagai
representasi fenomena toleransi dan “kerukunan”. Setelah merelakan
dirinya berperan sebagai Yesus, Surya kembali ke masjid membaca surat
al-Ikhlas, sebuah surat dalam al-Quran yang menegaskan kemurnian
Tauhid. “Katakan, Allah itu satu. Allah tempat meminta. Allah tidak
beranak dan diperanakkan. Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya.” Allah itu satu! Allah tidak punya anak! Ini gambaran
dalam Film “?” karya Hanung ini.

Padahal, surat al-Ikhlas seperti mengoreksi doktrin pokok dalam agama
Kristen, yang dirumuskan sekitar 300 tahun sebelumnya, di Konsili
Nicea (325 M), sebagaimana disebutkan dalam Nicene Creed:

“Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala
yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus
Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang
berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah
benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat
dengan Bapa…” (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja).

Padahal, al-Quran sudah menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn
Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan
menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama
Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul
Hakim yang menesehati anaknya: “Syirik adalah kezaliman besar.” (QS
31:13).

Beratus tahun, sejak kelahirannya, Islam membuktikan sebagai agama
yang sangat toleran. Sejak awal, Islam mengakui dan menghargai
perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan.

Saat Nabi Muhammad s.a.w. diutus, di wilayah Timur Tengah, sudah
eksis pemeluk Yahudi, Kristen, dan kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad
s.a.w. mengajak mereka untuk memeluk Islam, mengakui Allah
satu-satunya Tuhan dan dirinya adalah utusan Allah. Nabi tidak
menyatakan, “Semua agama sama-sama jalan yang sah menuju Tuhan!”
Bahkan, ada perintah al-Quran dalam surat al-Kafirun (109): “Katakan,
hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah! Dan
tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah! Dan aku bukanlah
penyembah sebagaimana kamu menyembah! Dan kamu bukanlah pula penyembah
sebagaimana aku menyembah!”

Dalam Tafsirnya, Al-Azhar, Prof. Hamka menjelaskan, asbabun nuzul
surat al-Kafirun ini berkaitan dengan tawaran damai empat tokoh kafir
Quraisy yang resah dengan dakwah Tauhid Nabi Muhammad saw. Mereka
adalah al-Walid bin al-Mughirah, al-Ash bin Wail, al-Aswad bin
al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka mengajukan usulan: “Ya
Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau
sembah, tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami
sembah….”

Buya Hamka mencatat: “Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah,
sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan
syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah
kemenangan syirik.”

Lebih jauh Buya Hamka menjelaskan: “Surat ini memberi pedoman yang
tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah
dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau
yang haq hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah
yang menang.”

Itulah paparan Buya Hamka, ulama terkenal dan salah satu Pahlawan
Nasional di Indonesia. Kita bisa menyimpulkan, jika ada yang
menyatakan, bahwa “semua agama adalah jalan kebenaran”, saat itu
dikepalanya telah hilang konsep iman dan kufur, konsep tauhid dan
syirik. Baginya, tiada penting lagi, apakah seorang bertauhid atau
musyrik; tak perlu dipersoalkan makan babi atau ayam, minum khamr
atau jus kurma; tidak penting lagi berjilbab atau telanjang; tiada
beda antara nikah atau zina; yang penting – katanya – adalah mengasihi
sesama manusia. Saat itu, sejatinya, agama-agama sudah tidak ada;
sudah diganti dengan SATU AGAMA: “agama global”, “agama universal”,
“agama kemanusiaan”, atau “agama cinta”.

Persaudaraan global antar-sesama tanpa memandang agama menjadi misi
terpenting dari kelompok lintas-agama semacam Theosofi dan Freemason.
Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D. Van Hinloopen
Labberton pada majalah Teosofi bulan Desember 1912 menulis: "Kemajuan
manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila beragama
tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang
sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang
dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: cinta pada sesama,
ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama
yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati,
batin.

Inikah yang dituju oleh Film “?” Jangan menuduh! Silakan dicermati dan
direnungkan!


***

Masih ada sosok lain yang diidolakan dalam film “?”. Namanya, Menuk.
Dia seorang muslimah, berjilbab pula. Menuk bekerja di sebuah retoran
China. Bermacam makanan dijual di sana, termasuk babi. Dengan
mencolok kepala babi ditampilkan. Kata si empunya restoran, bahan babi
dan bahan lain dipisahkan.

Menuk diterima bekerja dengan baik di restoran ini. Ia diberi
kebebasan ibadah. Dalam salah satu segmen, ditayangkan Menuk sedang
shalat, disampingnya Nyonya pemilik restoran juga sedang bersembahyang
sesuai dengan agamanya.

Pesan dari pemunculan sosok Menuk ini cukup jelas: inilah contoh
toleransi! Muslimah berjilbab rela bekerja di sebuah restoran yang
menjual babi.

Syukurlah, di akhir cerita, anak pemilik restoran bersedia memeluk
Islam. Ini tentu baik, dalam perspektif Islam. Tetapi, apakah perlu
harus melalui proses bekerja di sebuah restoran yang menjual babi?

Tujuan baik tidak boleh menghalalkan segala cara. Tujuan memberi
nafkah keluarga adalah baik. Tetapi, cara yang ditempuh pun harus
baik. Banyak muslimah yang gigih membantu ekonomi keluarganya dengan
bekerja keras dalam berbagai bidang profesi, dan juga toleran dengan
yang lain. Tapi, apakah Menuk sosok Muslimah yang ideal untuk
ditampilkan?

Walhasil, Film “?” karya Hanung Bramantyo ini membawa pesan besar yang
terlalu jelas: agama apa saja, sebenarnya sama saja! Agama-agama
dipandang sebagai jalan setapak menuju Tuhan yang sama. Juga,
agama-agama dianggap barang remeh; laksana baju, agama boleh ditukar
dan -- kalau perlu -- dibuang kapan saja! Katanya, demi kerukunan,
demi toleransi, dan demi perdamaian.

Akhirul kalam, di era globalisasi dan kebebasan informasi, saat
kemusyrikan dan kemurtadan ditampilkan dalam wujud yang menawan dan
menghibur, ada baiknya kita merenungkan satu ayat al-Quran: "Dan
demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan setan (dari jenis) jin, sebagian
mereka membisikkan kepada sebagian lainnya perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu." (QS 6:112)

Juga, Nabi Muhammad saw pernah bersabda: “Bersegaralah mengerjakan
amal shalih, (sebab) akan datang banyak fitnah laksana malam yang
gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang berada dalam keadaan mukmin,
tetapi sore harinya menjadi kafir. (Atau) sore harinya dia mukmin,
pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan harta-benda
dunia.” (HR Muslim). Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 10 April 2011

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara
Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com




Red: Cholis Akbar