31 Oktober 2009

Ibu Dan Ayah, Maafkan Kami...

Malam semakin larut dengan membawa kesunyian bersamanya. Suara jangkrik sudah lama tidak aku dengar dan yang aku dengar "malah" suara kipas angin kecil yang tergantung pada eternet rumah. Di luar udara terasa dingin tapi tidak disertai angin yang biasanya hilir mudik di malam-malam begini. Kemanakah perginya angin malam ini.

Aku mengok ke sebelah kanan, disana ada sepasang orang tua yang sedang bercengkrama dengan gembira. Terkadang mereka saling colek seperti muda-mudi yang berpacaran. Aku terharu melihat mereka seperti itu. Aku jadi ingat wejangan seorang teman yang jauh lebih tua dari aku bahkan mungkin umurnya hampir setara dengan ibu, bahwa nanti ketika tua, kecantikan pasangan kita sudah tidak mempunyai banyak arti lagi, yang paling berarti dan yang terpenting adalah kebersamaan. Sejenak aku te senyum setelah ingat wejangan itu dan sebagian dari pikiranku membenarkan hal itu. Setidaknya telah terbukti pada kedua orang tua yang sedang aku lihat masih bercengkrama dan mereka tidak lain adalah orang tua aku.

Setelah beberapa lama mereka telah tertidur di depan televisi yang masih menyala. Aku tidak tega untuk membangunkan mereka yang sudah nyenyak dalam tidur. Satu persatu aku pandangi wajah mereka. Tiba-tiba saja mataku terasa panas dan tanpa dapat aku cegah dua butir air mata telah meleleh keluar dari kedua plupuk mataku. Sekonyong-konyong aku membayangkan perjuangan mereka ketika merawat dan mendidik aku hingga dewasa. Walau aku tahu kalau aku bukanlah anak kesayangan mereka karena aku anak tengah, ketiga dari lima bersaudara, sehingga perhatian mereka lebih banyak tercurahkan pada kakak tertua dan adik bungsu. Akupun tidak merasa kalau mereka tidak adil. Mereka telah menjalankan kewajibannya sebagai orang tua dengan baik.

Dua tetes air mata menetes lagi dar mataku. Kali ini aku sedih karena sampai saat ini aku belum bisa memenuhi harapan mereka untuk pergi haji. Mereka tidak meminta tapi kadangkala aku melihat keinginan yang begitu kuat untuk berangkat haji ketika sedang membicarakan hal te sebut. Beberapa waktu yang lalu aku sudah berusaha untuk menyisihkan sebagian gajiku untuk dana haji mereka tapi tidak aku simpan di bank melainkan aku sumbangkan ke masjid dan anak-anak yatim disekitar rumah dengan harapan Allah yang akan memberangkatkan mereka. Kalau dengan cara menabung di bank aku tidak yakin akan cukup mengingat usia mereka yang telah senja dan juga gajiku yang kecil. Ditambah lagi biaya hidup yang kian hari kian meningkat sedangkan gaji ya segitu-gitu saja. Dengan gaji kecil tersebut aku harus membiayai biaya hidup empat orang, dua orang tua satu adik dan istriku.

Belum lama aku hapus air mata ini tiba - tiba dua lagi meluncur keluar tanpa dapat aku bendung lagi. Kali ini aku teringat akan perjuangan mereka yang berat untuk menyekolahkan kakak tertua hingga jenjang perguruan tinggi. Tapi perjuangan mereka seperti diabaikan begitu saja oleh kakak. Semenjak kerja dan berpenghasilan sendiri kakak jarang memberi bantuan dengan alasamn gaji kecil. Malah terkadang uang diberikan ke orang tua dianggap hutang sehingga aku harus mengencangkan ikat pinggang supaya dapat melunasi pemberian kakak ke orang tua. Ditambah lagi omelan kakak yang tak sedap di dengar ketika orang tua meminta bantuan. Sedih sekali aku bila teringat hal tersebut.

Malam ini tetes demi tetes air mata mengalir tanpa dapat aku cegah. Kesedihanku tumpah malam ini. Ayah, Ibu, maafkan kami bila kami belum bisa membahagiakan kalian. Senyum kalian adalah kebahagian kami dan ridho kalian kepada kami adalah harapan kami. Karena kami yakin keridhoaan kalian adalah keRidho-an Allah.

Note: curahan hati diatas bersumber dari sahabat karibku yang sudah aku rangkum dan disetujui oleh sahabatku tanpa menyebutkan nama.
Terimakasih Sobat, ceritamu membuat aku memperbaiki baktiku pada orang tuaku.

^_^Javawae ^_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar